RESUME TEORI TINDAK TUTUR
Oleh : Kiki Andri Yani ( 136828 )
A. Teori Tindak Tutur
1. Tindak Tutur Versi Searle
Searle (dalam Rahardi, 2005: 35-36) menyatakan bahwa dalam praktiknya
terdapat tiga macam tindak tutur antara lain:
a. Tindak lokusioner
Adalah tindak bertutur dengan kata,
frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan
kalimat itu. Dalam lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan
yang disampaikan.Dalam tindak lokusioner khususnya, Austin membaginya menjadi
tiga, sedangkan Searle membaginya menjadi dua, yaitu:
1.
Tindak ujar (utterance
act), yaitu mengujarkan kata (morfem kalimat). Tindak tutur ini mencakup
dua tindak tutur lokusi dari Austin.
2.
Tindak preposisi (prepositional
act), yaitu merujuk dan memprediksi. Tindak tutur jenis inilah yang
kemudian akan diekspresikan melalui tindak ilokusi dan perlokusi.
b. Tindak ilokusioner
Adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula.
Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tuturan
“tanganku gatal” diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk
memberitahukan mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya tuturan tersebut, rasa
gatal sedang bersarang pada tangan penutur, namun lebih dari itu bahwa penutur
menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa
gatal pada tangan penutur, misalnya mitra tutur mengambil balsem.
c. Tindakan perlokusi
Adalah tindak menumbuh pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak
tutur ini disebut dengan the act of affecting someone. Tuturan “tanganku
gatal”, misalnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect)
rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul, misalnya, karena si
penutur itu berprofesi sebagai seseorang tukang pukul yang pada kesehariannya
sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain.
2. Tindak Tutur Versi Austin
Teori tindak tutur muncul sebagai reaksi terhadap ‘descriptive fallacy’,
yaitu pandangan bahwa kalimat deklaratif selalu digunakan untuk mendeskripsikan
faka atau ‘state of affairs‘, yang harus dilakukan secara benar atau
secara salah (Malmkjer, 2006: 560).
Ada dua jenis ujaran,
menurut Austin, yaitu:
1. Ujaran konstantif
Yaitu ujaran yang tidak
melakukan tindakan dan dapat diketahui salah-benarnya. Menurut Austin (1962),
ujaran konstantif adalah jenis ujaran yang melukiskan suatu keadaan faktual,
yang isinya boleh jadi merujuk ke suatu fakta atau kejadian historis yang benar-benar
terjadi pada masa lalu. Contoh: Kamu terlihat bahagia.
2. Ujaran performatif
Yaitu ucapan yang
berimplikasi dengan tindakan si penutur sekalipun sulit diketahui
salah-benarnya, tidak dapat ditentukan benar-salahnya berdasarkan faktanya
karena ujaran ini lebih berhubungan dengan perilaku atau perbuatan si penutur.
a. Tindak lokusi
Melakukan tindakan untuk mengatakan sesuatu. Tindakan lokusi
mengandung makna literal. Dengan kata lain, tindak tutur lokusi adalah tindak
tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam
bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Dalam tindak lokusi, Austin
membagi tiga subjenis, yaitu:
1. Tindak fonik (phonic), yaitu dikeluarkannya bunyi atau phones
2. Tindak fatik (phatic) yaitu adanya phemes, bunyi-bunyi
tersebut memiliki kosakata dan mengikuti aturan tata bahasa tertentu (phemes).
3. Tindak retik (rhetic), yaitu adanyamakna dan referensi (rhemes)
b. Tindak ilokusi
Melakukan suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu. Pada tindak
tutur ilokusi, penutur menyatakan sesuatu dengan menggunakan suatu daya yang
khas, yang membuat si penutur bertindak sesuai dengan apa yang dituturkanya.
Tindakan ini mengandung makna yang berhubungan dengan fungsi sosial.
Austin membagi tindak ilokusi kedalam lima subjenis:
1.
verdiktif (verdictives),
tindak tutur yang ditandai oleh adanya keputusan yang bertalian dengan
benar-salah, misalnya (perhatikan kata yang bergaris bawah), “Hamdan dituduh
menjadi dalang unjuk rasa”
2.
Eksersitif (exercitives),
tindak tutur yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak, atau pengaruh,
misalnya “saya meminta Anda untuk datang ke kantor pagi-pagi,” ujar
Zacky kepada sekretarisnya;
3.
Komisif (commissives),
tindak tutur yang ditandai oleh adanya perjanjian atau perbuatan yang
menyebabkan si penutur melakukan sesuatu, misalnya “Universitas Nasional menandatangani
kerja sama dengan University Malaya dalam penerbitan jurnal ilmiah,” ucap Lina
di muka rapat pimpinan.
4.
Behavitif (behavitives),
tindak tutur yang mencerminkan kepedulian sosial atau rasa simpati, misalnya
“Pemerintah Singapura ikut prihatin terhadap TKI Indonesia yang
mengalami penyiksaan di Arab Saudi”, dan
5.
Ekspositif (expositives),
tindak tutur yang digunakan dalam menyederhanakan pengertian atau definisi,
misalnya “bail out” itu ibarat seseorang yang utang-nya kepada
seseorang dibayari oleh orang lain yang tidak dikenalrnya.”
c. Tindak perlokusi (Perlocutionary
act)
Melakukan suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu. Tindak perlokusi
menghasilkan efek atau hasil. yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh
ungkapan itu pada pendengar, sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan
kalimat itu. Tanggapan tersebut tidak hanya berbentuk kata-kata, tetapi juga
berbentuk tindakan atau perbuatan. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara
sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Contoh: ‘Saya lapar’,
yang dituturkan oleh si penutur menimbulkan efek kepada pendengar, yaitu dengan
reaksi memberikan atau menawarkan makanan kepada penutur.
B. Sosiolinguistik Interaksional
1. Kontribusi Antopologi: Gumperz
Dalam sebagian besar
pendahuluan koleksi essai akhirnya (Discourse Strategies), Gumperz
menyatakan bahwa dia “mencari pengembangan tafsir ancangan sosiolinguistik ke
arah analisis proses waktu nyata dalam pertemuan semuka”.
Pertalian di antara
kultur, kemasyarakatan, individual, dan kode dikembangankan dalam Discourse
Strategies (strategi wacana), essai (sebagaimana tertulis di atas) yang
mencari pengembangan “tafsir ancangan sosiolinguistik ke arah analisis proses
waktu nyata dalam pertemuan semuka.
Teori komunikasi verbal
yang diajukan oleh Gumperz memerlukan penambahan konsep dan prosedur analitis
yang terbangun dari agasan awalnya tentang kultur, sosial, bahasa, dan penutur.
Satu konstruk baru adalah isyarat kontekstualisasi. Isyarat kontekstualisasi
dikaitkan pada dua konsep lain: prasangka kontekstual dan tempat inferensi.
Kunci dari
sosiolinguistik komunikasi interpesonal Gumperz adalah pandangan bahasa yang secara
sosial dan kultural dikonstruk sistem simbol yang digunakan sebagai cara yang
merefleksikan makna sosial level-mikro (misal; identitas kelompok, perbedaan
status) dan menciptakan makna sosial level-makro (apakah seseorang menuturkan
da melakukan pada waktu yang tepat). Penutur adalah anggota kelompok sosial dan
kultural: cara kita menggunakan bahasa bukan hanya merefleksikan identitas,
dasar kelompok kita tetapi juga memberikan indikasi kontinu semacam siapa kita,
kita ingin berkomunikasi apa, dan bagaimana kita tahu bagaimana melakukan.
Kecakapan memproduk dan memahami prosesindeksikal itu menjadikan mereka tampak,
dan dipengaruhi oleh, konteks lokal merupak bagian kompetensi komunikatif kita.
Sebagaimana kita lihat pada bagian berikut ini, kerja Erving Goffman juga
berfokus pada pengetahuan ditempatkan, penutur, dan konteks sosial, tetapi
berbeda cara dan berbeda penekanan.
2. Kontruksi Sosiolog: Goffman
Yang juga memberi
kontribusi ke arah pengembangan sosiolinguistik interaksional adalah kerja
Erving Goffman. Walaupun Goffman tidak menganalisis bahasa saja, fokus pada
intraksi sosialnyamelengkapi fokus Gumperzpada situasi penarikan simpulan.
Goffman meletakan bahasa (dan sistem tanda lain) dalam konteks sosial dan
interpersonal yang sama seperti penetapan presaposisi temuan Gumperz merupakan
latar belakang yang penting untuk memahami makna. Ada tambahan dari Goffman,
yaitu satu pemahaman bentuk dan makna konteks yang membiarkan kita agar lebih
penuh mencirikan dan menghargai dugaan kontekstual yang tergambar dalam dugaan
mitra tutur terhadap makna penutur.
Kerja Goffman
sebagaimana memberikan elaborasi praduga kontekstual bahwa orang menggunakan
dan mengonstruk selama proses menduga, dan sebagai tawaran pandangan makna
dengan cara praduga tersebut secara eksternal dionstruk dan menentukan
keterikatan-keterikatan eksternal pada cara-cara kita memahami pesan.
3. Aplikasi Sosiolinguistik
Interaksional ke dalam Konteks
Tannen, mengatakan
bahwa sosiolingustik interaksional digambarkan pada percakapan yang terjadi
secara alami di antara teman. Akhirnya, sosiolinguistik interaksional
memberikan perlakuan yang besar ciri-ciri transkripsi penutur yang mungkin menyimpan
isyarat kontekstual.
Bertutur untuk orang
lain: untuk penempatan makna. Kunci dalam pemahaman sosiolinguistik
interaksional adalah penempatan makna atau peletakan makna. Dalam hail ini,
menguji 3 level:
1. Pelurusan: “menyela” atau “mencapuri”,
2. Tindakan sosial: memberikan penjelasan untuk penutur dan mitra tutur, dan
3. Tampilan identitas-mikro dan identitas-makro: penjajaran jender.
4. Sosiolinguistik
Interaksional sebagai Analisis Wacana
Bahwa sosiolinguistik
interaksional memberikan sebuah ancangan wacana yang berfokus pada peletakan
makna atau penempatan makna. Jadi, Gumperz fokus pada ditempatkanya inference
(dugaan), sedangkan Goffman memberikan kerangka kerja sosiologis untuk
mendeskripsikan dan memahami bentuk dan makna untuk konteks sosial dan
interpersonal yang memberikan praduga untuk interpretasi makna.
C. Etnografi Komunikasi
1. Definisi Etnografi Komunikasi
Teori yang digunakan
dalam kajian ini adalah teori etnografi komunikasi yang dikembangkan oleh Del
Hymes. Suatu asumsi bahwa Bahasa dan situasi merupakan satu-kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan.
2. Ancangan wacana terhadap Etnografi Komunikasi
Telah diketahui bahwa ancangan etnografi terhadap wacana diperlukan
untuk menumukan dan menganalisis struktur-struktur dan fungsi-fungsi dari
komunikasi yang mengatur penggunaan bahasa dalam situasi tutur: peristiwa tutur
dan tindak tutur.
a. Pragmatik
1. Definisi Prarmatik
Pragmatik
didefinisikan oleh Morris (1938) sebagai suatu cabang semiotik, yaitu ilmu
tentang tanda. Morris memandang semiosis (proses di mana sesuatu
berfungsi sebagai tanda) memiliki tiga bagian. Tanda (sign), yang
merupakan seperangkat tindakan sebagai tanda; penanda (designatum) yaitu
kepada apa tanda tersebut mengacu; interpretant adalah efek dari tanda; interpreter
adalah individu yang berpengaruh dengan tanda tersebut.
Secara garis
besar, keseluruhan menerima konsep definisi pragmatik bahwa hubungan
antara tanda dengan pemakainya menjadi pusat kajian pragmatik.
2. Makna Penutur dan Prinsip Kerja
Sama Grice
Konsep utama
dan terpenting dari pragmatik model Grice adalah makna penutur. Makna penutur
tidak hanya memberikan perbedaan antara dua hal makan (pembagian antara makna
semantik dan makna pragmatik), namun juga pandangan definite tentang
komunikasi manusia yang memfokuskan pada maksud dan tujuan tertentu. Grice
(1957) memisahkan makna non-alami dari makna alami. Makna alami adalah
ketiadaan maksud atau tujuan manusia. Misalnya: Those spots mean measles (bintik
itu bermakna penyakit campak). 3. 3. 3.
Hubungan antara pragmatik dengan analisis wacana
Ancangan
pragmatik yang ditawarkan model Grace untuk analisis wacana didasarkan pada seperangkap
prinsip umum tentang kerasionalan perilaku komunikatif (PK) yang mengatakan
bagaimana penutur dan mitra tutur untuk mengenali dan menggunakan informasi
ysng ditawarkan dalam sebuah teks atau sebuah wacana, bersamaan dengan latar
belakang pengetahuan dunia (termasuk pengetahuan konteks sosial secara
langsung) untuk mengungkapkan dan lebih memahami apa yang telah dikatakan
secara singkat dalam berkomunikasi.
2. Analisis Percakapan
a. Definisi Analisis Percakapan
Kajian
analisis percakapan telah berkembang sejak tahun 1970-an yang dapat dirujuk
pada penelitian Schegloff (1972). Ia menyatakan bahwa percakapan merupakan
bentuk pelaksanaan kaidah percakapan berangkai yang lebih dalam seperti makna
aturan sosial dengan berbagai tipe nosi peran sosial.
3. Analisis
Variasi
Kridalaksana
(1974) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang berusaha
menjelaskan ciri – ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri – ciri
variasi bahasa tersebut dengan ciri – ciri sosial kemasyarakatan. Mengutip
pendapat Fishman (1971:4) Kridalaksana juga mengatakan bahwa sosiolinguistik
adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi pelbagai variasi bahasa, serta
hubungan di antara bahasa dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa.
Terdapat dua pandangan dalam
variasi bahasa. Pertama, variasi bahasa dilihat sebagai akibat
adanya keragaman social penutur bahasa dan keragaman fungsi
bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya
sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
Hartman dan Stork (1972) membedakan
variasi berdasarkan:
a.
latar belakang geografi dan social
penutur
b.
medium yang digunakan
c.
pokok pembicaraan
d.
realisas
1. Variasi dari Segi Penutur
Berikut
adalah variasi – variasi dari segi penutur
a. Idiolek
Idiolek adalah varasi bahasa yang
bersifat perseorangan. Setiap orang memiliki variasi bahasanya atau
idioleknya masing – masing yang berkenaan dengan warna suara, pilihan kata,
gaya bahasa, susunan kalimat dan sebagainya. Bila ada 1000 orang
penutur maka akan ada 1000 idiolek dengan cirinya masing- masing.
b. Dialek
Dialek adalah variasi bahasa dari
sekelompok penutur yang jumlahnya relative yang berada pada satu tempat, area
,atau wilayah tinggal penutur. Para penutur dalam satu dialek,
meskipun mereka mempunyai idioleknya masing – masing, memiliki kesamaan cirri
yang menandai bahwa mereka berada pada satu dialek yang berbeda engna kelompok
penutur lain. Misalnya bahasa Jawa dialek Banyumas berbeda dengan
dialek Surabaya, Semarang dan lain sebagainya.
c. Kronolek
Kronolek adalah variasi
bahasa yang digunakan oleh kelompok social pada masa
tertentu. Misalnya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga
puluhan, variasi bahasa pada masa tahun lima puluhan, dan variasi bahasa yang
digunakan pada masa kini. Variasi pada ketiga masa itu tentu saja
berbeda, baik dari segi lafal, ejaan, morfologi, maupun sintaksis.
d. Sosiolek
Sosiolek adalah variasi bahasa yang
berkenaan dengan status, golongan dan kelas social penuturnya. Dalam sosiolinguisik,
variasi ini paling banyak dibicarakan dan menyita waktu karena menyangkut
masalah pribadi penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks,
pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan social ekonomi, dan
sebagainya. Dalam hal usia kita bias melihat perbedaan variasi yang
digunakan oleh anak-anak, remaja, orang dewasa, dan orang tua.
e. Akrolek
Akrolek adalah variasi social, yang
dianggap lebih penting atau bergengsi dari pada variasi social yang
lain. Sebagai contoh adalah bahasa bagongan, yaitu variasi bahasa Jawa
yang khusus digunakan oleh para bangsawan kraton.
f. Basilek
Basilek adalah variasi social yang
dianggap kurang bergengsi atau dipandang rendah. Misalnya bahasa
Inggris kaum cowboy dan kuli tambang. Begitu juga dalam bahasa Jawa “krama
ndeso”.
g. Vulgar
Yang dimaksud vulgar adalah variasi
social yang cirri- cirinya tampak pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang
terpelajar, atau dari kalangan tidak berpendidikan.
h. Slang
Yang dimaksud dengan slang adalah
variasi social yang bersifat khusus dan rahasia. Variasi ini
digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas dan tidak boleh diketahui
oleh kalangna di luar kelompk tersebut.
i. Kolokial
Kolokial adalah variasi social yang
diguanakan dalam percakapan sehari –hari. Kata kolokial barasal dari
colloquium (percakapan, konversasi). Jadi kolokial berarti bahasa
percakapan. Bukan bahasa tulis. Tidak benar jika
kolokial disebut bahasa kampungan sebab yang penting adalah konteks dalam pemakaiannya.
j. Jargon
Yang dimaksud jargon adalah variasi
social yang digunakan secara terbatas oleh kelompok – kelompok social
tertentu. Ungkapan – ungkapan yang digunakan tidak mudah dipahami
oleh masyarakat umum tetapi tidak bersiat rahasia. Misalnya dalam
kelompok tukang batu ada istilah dieksos, disiku, dan ditimbang.
k. Argot
Yang dimaksud dengna argot adalah
variasi social yang digunakan secara terbatas pada profesi – profesi tertentu
dan bersifat rahasia. Letak kekhususan ada pada
kosakata. Umpamanya dalam dunia kejahatan (pencuri, pencopet)
diguakan istilah barang dalam arti mangsa, kacamata dalam arti
polisi.
l. Ken
Yang dimaksud ken adalah variasi
social tertentu yang bernada memelas, merengek – rengek, penuh dengan kepura –
puraan. Biasanya digunakan oleh para pengemis.
2. Variasi
dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berdasarkan segi
pemakaiannya disebut fungsiolek, ragam atau register
(Nabanan,1984). Variasi ini dibicarakan berdasarkan bidang penggunaanya,
gaya, atau tingkatan keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi
bahasa bidang pemakaain ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk
keperluan apa, bidang apa, misalnya, sastra, jurnalistik, militer, pertanian,
pelayaran, perekeonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan
keilmuan. Variasi bahasa sastra menekankan estetis, variasi bahasa
jurnalistik bersifat sederhana, ringkas, padat, dan komunikatif. Variasi bahasa
militer bersifat ringkas dan tegas. Variasi bahasa ilmiah dikenal
dengan cirinya yang lugas, tegas, jelas, dan bebas dari keambiguan serta segala
macam metafora dan idiom. Variasi bahasa berdasarkan fungsi ini
lazim disebut register.
3. Variasi dari Segi
Keformalan
Berdasarkan tingat keformalannya,
Martin Joos (1967) membagi variasi bahasa atas lima macam.
a. Ragam Beku
Ragam beku adalah variasi bahasa yang
paling formal yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat, upacara resmi,
upacara kenegaraan, pengmbilan sumpah, kitab undang-undang, akte notaries, dan
surat-surat keputusan.
b. Ragam Resmi
Ragam resmi atau formal adalah
variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat –
menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran dan sebagainya.
c. Ragam Usaha atau
Ragam Konsultatif
Ragam usaha adalah variasi bahasa
yang lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat –
rapat atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau
produksi. Wujud ini berada diantara ragam formal dan informal.
d. Ragam
Santai atau Ragam Kasual
Ragam santai adalah
variasi bahasa yang digunakan dalam situasi santai untuk berbincang –
bincang sama keluarga, teman pada waktu tidak resmi (olah raga, rekreasi,
istirahat,dll).
e. Ragam
Akrab atau Ragam Intim
Ragam akrab adalah variasi bahasa
yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubunganya sudah akrab seperti
anggota keluarga, atau antar teman yang sudah karib. Ragam ini
ditandai Dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan
atiulasi yang sering tidak jelas.
Perthatikan contoh berikut:
a.
Saudara boleh mengambil buku-buku
yang saudara suka.
b.
Ambillah yang kau sukai.
c.
Kalau mau ambil aja.
Dari ketiga contoh diatas kalimat
(a) lebih sopan dari kalimat (b) kalimat (b) lebih sopan dari kalimat
(c). Kalimat (c) adalah yang termasuk ragam akrab.
Dalam penggunaan kita tidak mungkin
menggunakan salah satu ragam saja. Semua tergantung dengan situasi
dan kondisi
4. Variasi dari Segi
Sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat
dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat
disebut ragam lisan dan ragam tulisan atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakaan
sarana atau alat tertentu misalnya dalam bertelephon dan
bertelegraph. Adanya ragam bahasa lisan dan bahasa tilis didasarkan
pada kenyataan bahwa pada bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur
yang tidak sama. Adanya ketidaksamaan wujud strukur ini adalah
karena dalam berbahasa lisan kita dibantu oleh unsure – unsure nonsegmental
atau unsur nonlinguistic yang berupa nada suara, gerak-gerik tangan, gelengna
kepala dan gerakan fisik yang lain. Sedangkan pada bahasa tulis itu
semua tidak ada. Lalu sebagai gantinya harus dieksplesitkan secara
verbal.
a. Manfaat Kajian Wacana Dalam
Konteks Indonesia
Kajian wacana memiliki manfaat yang besar apabila dikaitkan dengan koteks
Indonesia yang beraneka ragam kultur dan budayanya. Manfaat tersebut antara
lain sebagai berikut.
1.
Membantu masyarakat memahami berbagai permasalahan yang terjadi sekaligus
mencari solusinya.
2.
Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan langkah yang akan diambil
setelah melihat fakta yang berkembang di masyarakat.
3.
Kajian wacana dapat mengungkap berbagai fakta, idealisme yang tersirat
dalam sebuah wacana guna mengetahui maksud dan tujuan penulis wacana tersebut.
4.
Membongkar nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah wacana. Nilai-nilai
ini tentu adalah nilai-nilai kebenaran yang sebenarnya, bukan sekedar kamuflase
permainan bahasa.
5. Kajian wacana
memberikan kontribusi bagi perkembangan
pendidikan dengan menanamkan sikap skeptic
dan critical thingking terhadap
segala hal.
6.
Kajian wacana memungkinkan menganalisis fenomena-fenomena yang terjadi di
lingkungan sekitar dari berbagai sudut pandang. Hal ini akan membawa dampak
pada meningkatkan pemahaman dan pengetahuan dari berbagai sisi sehingga
memerkaya pengalaman dan pengetahuan.