Sabtu, 13 Juni 2015

RESUME TEORI TINDAK TUTUR



RESUME TEORI TINDAK TUTUR
Oleh : Kiki Andri Yani ( 136828 )

A. Teori Tindak Tutur
1. Tindak Tutur Versi Searle
Searle (dalam Rahardi, 2005: 35-36) menyatakan bahwa dalam praktiknya terdapat tiga macam tindak tutur antara lain:
a. Tindak lokusioner
Adalah  tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Dalam lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan.Dalam tindak lokusioner khususnya, Austin membaginya menjadi tiga, sedangkan Searle membaginya menjadi dua, yaitu:
1.             Tindak ujar (utterance act), yaitu mengujarkan kata (morfem kalimat). Tindak tutur ini mencakup dua tindak tutur lokusi dari Austin.
2.             Tindak preposisi (prepositional act), yaitu merujuk dan memprediksi. Tindak tutur jenis inilah yang kemudian akan diekspresikan melalui tindak ilokusi dan perlokusi.
b. Tindak ilokusioner
Adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tuturan “tanganku gatal” diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya tuturan tersebut, rasa gatal sedang bersarang pada tangan penutur, namun lebih dari itu bahwa penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa gatal pada tangan penutur, misalnya mitra tutur mengambil balsem.
c. Tindakan perlokusi
Adalah tindak menumbuh pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak tutur ini disebut dengan the act of affecting someone. Tuturan “tanganku gatal”, misalnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul, misalnya, karena si penutur itu berprofesi sebagai seseorang tukang pukul yang pada kesehariannya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain.
2. Tindak Tutur Versi Austin
Teori tindak tutur muncul sebagai reaksi terhadap ‘descriptive fallacy’, yaitu pandangan bahwa kalimat deklaratif selalu digunakan untuk mendeskripsikan faka atau ‘state of affairs‘, yang harus dilakukan secara benar atau secara salah (Malmkjer, 2006: 560).
Ada dua jenis ujaran, menurut Austin, yaitu:
1.      Ujaran konstantif
Yaitu ujaran yang tidak melakukan tindakan dan dapat diketahui salah-benarnya. Menurut Austin (1962), ujaran konstantif adalah jenis ujaran yang melukiskan suatu keadaan faktual, yang isinya boleh jadi merujuk ke suatu fakta atau kejadian historis yang benar-benar terjadi pada masa lalu. Contoh: Kamu terlihat bahagia.
2.      Ujaran performatif
Yaitu ucapan yang berimplikasi dengan tindakan si penutur sekalipun sulit diketahui salah-benarnya, tidak dapat ditentukan benar-salahnya berdasarkan faktanya karena ujaran ini lebih berhubungan dengan perilaku atau perbuatan si penutur.


a.      Tindak lokusi
Melakukan tindakan untuk mengatakan sesuatu. Tindakan lokusi mengandung makna literal. Dengan kata lain, tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Dalam tindak lokusi, Austin membagi tiga subjenis, yaitu:
1.      Tindak fonik (phonic), yaitu dikeluarkannya bunyi atau phones
2.      Tindak fatik (phatic) yaitu adanya phemes, bunyi-bunyi tersebut memiliki kosakata dan mengikuti aturan tata bahasa tertentu (phemes).
3.      Tindak retik (rhetic), yaitu adanyamakna dan referensi (rhemes)
b.      Tindak ilokusi
Melakukan suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu. Pada tindak tutur ilokusi, penutur menyatakan sesuatu dengan menggunakan suatu daya yang khas, yang membuat si penutur bertindak sesuai dengan apa yang dituturkanya. Tindakan ini mengandung makna yang berhubungan dengan fungsi sosial.
Austin membagi tindak ilokusi kedalam lima subjenis:                   
1.             verdiktif (verdictives), tindak tutur yang ditandai oleh adanya keputusan yang bertalian dengan benar-salah, misalnya (perhatikan kata yang bergaris bawah), “Hamdan dituduh menjadi dalang unjuk rasa”
2.             Eksersitif (exercitives), tindak tutur yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak, atau pengaruh, misalnya “saya meminta Anda untuk datang ke kantor pagi-pagi,” ujar Zacky kepada sekretarisnya;
3.             Komisif (commissives), tindak tutur yang ditandai oleh adanya perjanjian atau perbuatan yang menyebabkan si penutur melakukan sesuatu, misalnya “Universitas Nasional menandatangani kerja sama dengan University Malaya dalam penerbitan jurnal ilmiah,” ucap Lina di muka rapat pimpinan.
4.             Behavitif (behavitives), tindak tutur yang mencerminkan kepedulian sosial atau rasa simpati, misalnya “Pemerintah Singapura ikut prihatin terhadap TKI Indonesia yang mengalami penyiksaan di Arab Saudi”, dan
5.             Ekspositif (expositives), tindak tutur yang digunakan dalam menyederhanakan pengertian atau definisi, misalnya “bail out” itu ibarat seseorang yang utang-nya kepada seseorang dibayari oleh orang lain yang tidak dikenalrnya.”
c.       Tindak perlokusi (Perlocutionary act)
Melakukan suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu. Tindak perlokusi menghasilkan efek atau hasil. yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar, sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu. Tanggapan tersebut tidak hanya berbentuk kata-kata, tetapi juga berbentuk tindakan atau perbuatan. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Contoh: ‘Saya lapar’, yang dituturkan oleh si penutur menimbulkan efek kepada pendengar, yaitu dengan reaksi memberikan atau menawarkan makanan kepada penutur.
B. Sosiolinguistik Interaksional
1. Kontribusi Antopologi: Gumperz
Dalam sebagian besar pendahuluan koleksi essai akhirnya (Discourse Strategies), Gumperz menyatakan bahwa dia “mencari pengembangan tafsir ancangan sosiolinguistik ke arah analisis proses waktu nyata dalam pertemuan semuka”.
Pertalian di antara kultur, kemasyarakatan, individual, dan kode dikembangankan dalam Discourse Strategies (strategi wacana), essai (sebagaimana tertulis di atas) yang mencari pengembangan “tafsir ancangan sosiolinguistik ke arah analisis proses waktu nyata dalam pertemuan semuka.
Teori komunikasi verbal yang diajukan oleh Gumperz memerlukan penambahan konsep dan prosedur analitis yang terbangun dari agasan awalnya tentang kultur, sosial, bahasa, dan penutur. Satu konstruk baru adalah isyarat kontekstualisasi. Isyarat kontekstualisasi dikaitkan pada dua konsep lain: prasangka kontekstual dan tempat inferensi.
Kunci dari sosiolinguistik komunikasi interpesonal Gumperz adalah pandangan bahasa yang secara sosial dan kultural dikonstruk sistem simbol yang digunakan sebagai cara yang merefleksikan makna sosial level-mikro (misal; identitas kelompok, perbedaan status) dan menciptakan makna sosial level-makro (apakah seseorang menuturkan da melakukan pada waktu yang tepat). Penutur adalah anggota kelompok sosial dan kultural: cara kita menggunakan bahasa bukan hanya merefleksikan identitas, dasar kelompok kita tetapi juga memberikan indikasi kontinu semacam siapa kita, kita ingin berkomunikasi apa, dan bagaimana kita tahu bagaimana melakukan. Kecakapan memproduk dan memahami prosesindeksikal itu menjadikan mereka tampak, dan dipengaruhi oleh, konteks lokal merupak bagian kompetensi komunikatif kita. Sebagaimana kita lihat pada bagian berikut ini, kerja Erving Goffman juga berfokus pada pengetahuan ditempatkan, penutur, dan konteks sosial, tetapi berbeda cara dan berbeda penekanan.      


2. Kontruksi Sosiolog: Goffman
Yang juga memberi kontribusi ke arah pengembangan sosiolinguistik interaksional adalah kerja Erving Goffman. Walaupun Goffman tidak menganalisis bahasa saja, fokus pada intraksi sosialnyamelengkapi fokus Gumperzpada situasi penarikan simpulan. Goffman meletakan bahasa (dan sistem tanda lain) dalam konteks sosial dan interpersonal yang sama seperti penetapan presaposisi temuan Gumperz merupakan latar belakang yang penting untuk memahami makna. Ada tambahan dari Goffman, yaitu satu pemahaman bentuk dan makna konteks yang membiarkan kita agar lebih penuh mencirikan dan menghargai dugaan kontekstual yang tergambar dalam dugaan mitra tutur terhadap makna penutur.
Kerja Goffman sebagaimana memberikan elaborasi praduga kontekstual bahwa orang menggunakan dan mengonstruk selama proses menduga, dan sebagai tawaran pandangan makna dengan cara praduga tersebut secara eksternal dionstruk dan menentukan keterikatan-keterikatan eksternal pada cara-cara kita memahami pesan.
3.  Aplikasi Sosiolinguistik Interaksional ke dalam Konteks
Tannen, mengatakan bahwa sosiolingustik interaksional digambarkan pada percakapan yang terjadi secara alami di antara teman. Akhirnya, sosiolinguistik interaksional memberikan perlakuan yang besar ciri-ciri transkripsi penutur yang mungkin menyimpan isyarat kontekstual.
Bertutur untuk orang lain: untuk penempatan makna. Kunci dalam pemahaman sosiolinguistik interaksional adalah penempatan makna atau peletakan makna. Dalam hail ini, menguji 3 level:
1.      Pelurusan: “menyela” atau “mencapuri”,
2.      Tindakan sosial: memberikan penjelasan untuk penutur dan mitra tutur, dan
3.      Tampilan identitas-mikro dan identitas-makro: penjajaran jender.
4. Sosiolinguistik Interaksional sebagai Analisis Wacana
Bahwa sosiolinguistik interaksional memberikan sebuah ancangan wacana yang berfokus pada peletakan makna atau penempatan makna. Jadi, Gumperz fokus pada ditempatkanya inference (dugaan), sedangkan Goffman memberikan kerangka kerja sosiologis untuk mendeskripsikan dan memahami bentuk dan makna untuk konteks sosial dan interpersonal yang memberikan praduga untuk interpretasi makna.

C. Etnografi Komunikasi
1. Definisi Etnografi Komunikasi
Teori yang digunakan dalam kajian ini adalah teori etnografi komunikasi yang dikembangkan oleh Del Hymes. Suatu asumsi bahwa Bahasa dan situasi merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
2. Ancangan wacana terhadap Etnografi Komunikasi
Telah diketahui bahwa ancangan etnografi terhadap wacana diperlukan untuk menumukan dan menganalisis struktur-struktur dan fungsi-fungsi dari komunikasi yang mengatur penggunaan bahasa dalam situasi tutur: peristiwa tutur dan tindak tutur.
a. Pragmatik
1. Definisi Prarmatik
Pragmatik didefinisikan oleh Morris (1938) sebagai suatu cabang semiotik, yaitu ilmu tentang tanda. Morris memandang semiosis (proses di mana sesuatu berfungsi sebagai tanda) memiliki tiga bagian. Tanda (sign), yang merupakan seperangkat tindakan sebagai tanda; penanda (designatum) yaitu kepada apa tanda tersebut mengacu; interpretant adalah efek dari tanda; interpreter  adalah individu yang berpengaruh dengan tanda tersebut.
Secara garis besar, keseluruhan menerima konsep definisi pragmatik bahwa hubungan antara tanda dengan pemakainya menjadi pusat kajian pragmatik.
2. Makna Penutur dan Prinsip Kerja Sama Grice
Konsep utama dan terpenting dari pragmatik model Grice adalah makna penutur. Makna penutur tidak hanya memberikan perbedaan antara dua hal makan (pembagian antara makna semantik dan makna pragmatik), namun juga pandangan definite tentang komunikasi manusia yang memfokuskan pada maksud dan tujuan tertentu. Grice (1957) memisahkan makna non-alami dari makna alami. Makna alami adalah ketiadaan maksud atau tujuan manusia. Misalnya: Those spots mean measles (bintik itu bermakna penyakit campak). 3. 3. 3. Hubungan antara pragmatik dengan analisis wacana
Ancangan pragmatik yang ditawarkan model Grace untuk analisis wacana didasarkan pada seperangkap prinsip umum tentang kerasionalan perilaku komunikatif (PK) yang mengatakan bagaimana penutur dan mitra tutur untuk mengenali dan menggunakan informasi ysng ditawarkan dalam sebuah teks atau sebuah wacana, bersamaan dengan latar belakang pengetahuan dunia (termasuk pengetahuan konteks sosial secara langsung) untuk mengungkapkan dan lebih memahami apa yang telah dikatakan secara singkat dalam berkomunikasi.


2. Analisis Percakapan
a. Definisi Analisis Percakapan
  Kajian analisis percakapan telah berkembang sejak tahun 1970-an yang dapat dirujuk pada penelitian Schegloff (1972). Ia menyatakan bahwa percakapan merupakan bentuk pelaksanaan kaidah percakapan berangkai yang lebih dalam seperti makna aturan sosial dengan berbagai tipe nosi peran sosial. 
3. Analisis Variasi
Kridalaksana (1974) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang berusaha menjelaskan ciri – ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri – ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri – ciri sosial kemasyarakatan.  Mengutip pendapat Fishman (1971:4) Kridalaksana juga mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi pelbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara bahasa dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa.
Terdapat dua pandangan dalam variasi bahasa.  Pertama, variasi bahasa dilihat sebagai akibat adanya keragaman social penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa.  Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. 
Hartman dan Stork (1972) membedakan variasi berdasarkan:
a.     latar belakang geografi dan social penutur
b.    medium yang digunakan
c.     pokok pembicaraan
d.    realisas


1. Variasi dari Segi Penutur
Berikut adalah variasi – variasi dari segi penutur
a. Idiolek
Idiolek adalah varasi bahasa yang bersifat perseorangan.  Setiap orang memiliki variasi bahasanya atau idioleknya masing – masing yang berkenaan dengan warna suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat dan sebagainya.  Bila ada 1000 orang penutur maka akan ada 1000 idiolek dengan cirinya masing- masing.
b. Dialek
Dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relative yang berada pada satu tempat, area ,atau wilayah tinggal penutur.  Para penutur dalam satu dialek, meskipun mereka mempunyai idioleknya masing – masing, memiliki kesamaan cirri yang menandai bahwa mereka berada pada satu dialek yang berbeda engna kelompok penutur lain.  Misalnya bahasa Jawa dialek Banyumas berbeda dengan dialek Surabaya, Semarang dan lain sebagainya.
c. Kronolek
 Kronolek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok social pada masa tertentu.  Misalnya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi bahasa pada masa tahun lima puluhan, dan variasi bahasa yang digunakan pada masa kini.  Variasi pada ketiga masa itu tentu saja berbeda, baik dari segi lafal, ejaan, morfologi, maupun sintaksis.
d. Sosiolek
Sosiolek adalah variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan dan kelas social penuturnya. Dalam sosiolinguisik, variasi ini paling banyak dibicarakan dan menyita waktu karena menyangkut masalah pribadi penuturnya,  seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan social ekonomi, dan sebagainya.  Dalam hal usia kita bias melihat perbedaan variasi yang digunakan oleh anak-anak, remaja, orang dewasa, dan orang tua.  
e. Akrolek                                                                                                            
Akrolek adalah variasi social, yang dianggap lebih penting atau bergengsi dari pada variasi social yang lain. Sebagai contoh adalah bahasa bagongan, yaitu variasi bahasa Jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan kraton.

f. Basilek
Basilek adalah variasi social yang dianggap kurang bergengsi atau dipandang rendah.  Misalnya bahasa Inggris kaum cowboy dan kuli tambang.  Begitu juga dalam bahasa Jawa “krama ndeso”.
g. Vulgar
Yang dimaksud vulgar adalah variasi social yang cirri- cirinya tampak pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan tidak berpendidikan.
h. Slang
Yang dimaksud dengan slang adalah variasi social yang bersifat khusus dan rahasia.  Variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas dan tidak boleh diketahui oleh kalangna di luar kelompk tersebut.  
i. Kolokial
Kolokial adalah variasi social yang diguanakan dalam percakapan sehari –hari.  Kata kolokial barasal dari colloquium (percakapan, konversasi).  Jadi kolokial berarti bahasa percakapan.   Bukan bahasa tulis.  Tidak benar jika kolokial disebut bahasa kampungan sebab yang penting adalah konteks dalam pemakaiannya.
j. Jargon
Yang dimaksud jargon adalah variasi social yang digunakan secara terbatas oleh kelompok – kelompok social tertentu.  Ungkapan – ungkapan yang digunakan tidak mudah dipahami oleh masyarakat umum tetapi tidak bersiat rahasia.  Misalnya dalam kelompok tukang batu ada istilah dieksos, disiku, dan ditimbang.
k. Argot
Yang dimaksud dengna argot adalah variasi social yang digunakan secara terbatas pada profesi – profesi tertentu dan bersifat rahasia.  Letak kekhususan ada pada kosakata.  Umpamanya dalam dunia kejahatan (pencuri, pencopet) diguakan istilah barang dalam arti mangsa, kacamata dalam arti polisi.
l. Ken
Yang dimaksud ken adalah variasi social tertentu yang bernada memelas, merengek – rengek, penuh dengan kepura – puraan.  Biasanya digunakan oleh para pengemis.

2. Variasi dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berdasarkan segi pemakaiannya disebut fungsiolek, ragam atau register (Nabanan,1984). Variasi ini dibicarakan berdasarkan bidang penggunaanya, gaya, atau tingkatan keformalan, dan sarana penggunaan.  Variasi bahasa bidang pemakaain ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan apa, bidang apa, misalnya, sastra, jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekeonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan.  Variasi bahasa sastra menekankan estetis, variasi bahasa jurnalistik bersifat sederhana, ringkas, padat, dan komunikatif. Variasi bahasa militer bersifat ringkas dan tegas.  Variasi bahasa ilmiah dikenal dengan cirinya yang lugas, tegas, jelas, dan bebas dari keambiguan serta segala macam metafora dan idiom.  Variasi bahasa berdasarkan fungsi ini lazim disebut register. 

3.  Variasi dari Segi Keformalan
Berdasarkan tingat keformalannya, Martin Joos (1967) membagi variasi bahasa atas lima macam.
a.  Ragam Beku
Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat, upacara resmi, upacara kenegaraan, pengmbilan sumpah, kitab undang-undang, akte notaries, dan surat-surat keputusan. 

b.  Ragam Resmi
Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat – menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran dan sebagainya. 
c.  Ragam Usaha atau Ragam Konsultatif
Ragam usaha adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat – rapat  atau  pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau produksi.  Wujud ini berada diantara ragam formal dan informal.
d.  Ragam Santai atau Ragam Kasual
Ragam santai adalah variasi  bahasa yang digunakan dalam situasi santai untuk berbincang – bincang sama keluarga, teman pada waktu tidak resmi (olah raga, rekreasi, istirahat,dll).
e. Ragam Akrab atau Ragam Intim
Ragam akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubunganya sudah akrab seperti anggota keluarga, atau antar teman yang sudah karib.  Ragam ini ditandai Dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan atiulasi yang sering tidak jelas. 
Perthatikan contoh berikut:
a.     Saudara boleh mengambil buku-buku yang saudara suka.
b.    Ambillah yang kau sukai.
c.     Kalau mau ambil aja.
Dari ketiga contoh diatas kalimat (a) lebih sopan dari kalimat (b) kalimat (b) lebih sopan dari kalimat (c).  Kalimat (c) adalah yang termasuk ragam akrab.
Dalam penggunaan kita tidak mungkin menggunakan salah satu ragam saja.  Semua tergantung dengan situasi dan kondisi

4.  Variasi dari Segi Sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan.  Dalam hal ini dapat disebut ragam lisan dan ragam tulisan atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakaan sarana atau alat tertentu misalnya dalam bertelephon dan bertelegraph.  Adanya ragam bahasa lisan dan bahasa tilis didasarkan pada kenyataan bahwa pada bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama.  Adanya ketidaksamaan wujud strukur ini adalah karena dalam berbahasa lisan kita dibantu oleh unsure – unsure nonsegmental atau unsur nonlinguistic yang berupa nada suara, gerak-gerik tangan, gelengna kepala dan gerakan fisik yang lain.  Sedangkan pada bahasa tulis itu semua tidak ada.  Lalu sebagai gantinya harus dieksplesitkan secara verbal.   
a. Manfaat Kajian Wacana Dalam Konteks Indonesia
Kajian wacana memiliki manfaat yang besar apabila dikaitkan dengan koteks Indonesia yang beraneka ragam kultur dan budayanya. Manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.
1.      Membantu masyarakat memahami berbagai permasalahan yang terjadi sekaligus mencari solusinya.
2.      Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan langkah yang akan diambil setelah melihat fakta yang berkembang di masyarakat.
3.      Kajian wacana dapat mengungkap berbagai fakta, idealisme yang tersirat dalam sebuah wacana guna mengetahui maksud dan tujuan penulis wacana tersebut.
4.      Membongkar nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah wacana. Nilai-nilai ini tentu adalah nilai-nilai kebenaran yang sebenarnya, bukan sekedar kamuflase permainan bahasa.
5.      Kajian wacana memberikan  kontribusi bagi perkembangan pendidikan dengan menanamkan sikap skeptic dan critical thingking terhadap segala hal.
6.      Kajian wacana memungkinkan menganalisis fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar dari berbagai sudut pandang. Hal ini akan membawa dampak pada meningkatkan pemahaman dan pengetahuan dari berbagai sisi sehingga memerkaya pengalaman dan pengetahuan.
                                                                                     


Tidak ada komentar:

Posting Komentar